Akhir tahun 2014, dunia pendidikan di Indonesia dikejutkan oleh keputusan dari orang nomor satu di kemendikbud yaitu Anies Baswedan yang merubah pelaksanaan kurikulum dari 2013 kembali ke kurikulum KTSP 2006 (kecuali untuk sekolah yang telah melaksanakan kurikulum 2013 selama 3 semester). Perubahan tersebut tidak semudah membalik telapak tangan, apalagi dilakukan pada peralihan semester dan bukannya pada pergantian tahun pelajaran. Hal ini tentu saja membuat publik khususnya mereka yang bergerak di dunia pendidikan mengalami kebingungan bagaimana kelanjutannya untuk semester berikutnya? Bagaimana dengan kompetensi dasar, buku, maupun hasil evaluasi belajar siswa atau rapor? Sebagai seorang yang berprofesi sebagai pendidik, penulis sebenarnya menyetujui keputusan menteri terkait penundaan pelaksanaan kurikulum 2013 yang seakan-akan dipaksakan pelaksanaannya oleh menteri sebelumnya, padahal banyak hal yang belum dipersiapkan. Meski demikian, pergantian kurikulum di tengah tahun pelajaran sebenarnya juga bukan langkah yang boleh dibilang tepat, karena antisipasi terhadap hal-hal yang sifatnya teknis tentu tidak dapat dipersiapkan dengan mudah dan cepat. Sebagai contoh yang penulis alami yaitu bagaimana dengan ketersediaan buku paket pelajaran KTSP 2006 yang sudah tidak diproduksi penerbit, atau kalaupun masih diproduksi maka apakah bijak membeli buku paket tapi hanya dipakai sebagian saja? Hal ini tentu menjadi dilema bagi setiap guru, tak terkecuali siswa yang (jika harus beli buku baru) tentu menambah beban anggaran mereka dan kerugian karena hanya dipakai beberapa bab saja. Guru memang dituntut harus kreatif, mungkin tidak harus membeli tetapi dapat menggunakan cara lain yaitu membuat catatan atau handout, siswa diberi tugas untuk mencari dari sumber internet, atau cara lainnya. Namun demikian, perubahan kurikulum secara mendadak dan dilakukan di tengah-tengah seharusnya juga menjadi pertimbangan lain bagi menteri untuk dikemudian hari saat merumuskan suatu kebijakan dapat disosialisasikan terlebih dahulu dan juga dapat meminta pendapat/masukan dari pelaksana kurikulum dalam hal ini murid dan guru. Maksudnya disini ialah jangan hanya mendengar masukan pengamat pendidikan saja yang tidak terkena dampak langsung dari kebijakan tersebut, karena mereka hanya berpendapat tanpa ada untung dan rugi bagi mereka sendiri, tetapi pendapat pelaksana teknis lapangan (baca: guru dan murid) terkadang tidak didengar pendapat dan masukannya. Hal inilah yang membuat guru dan murid seakan menjadi korban perubahan kurikulum kali ini, meski di satu sisi penulis mendukung tidak diberlakukannya kurikulum 2013 karena tidak penting apapun nama kurikulumnya, tetapi bagaimana guru dan murid yang menjadi dampak dari perubahan kurikulum tersebut juga menjadi perhatian khusus, minimal diminta atau didengar pendapatnya.