Pulau Jawa dengan jumlah penduduk terpadat memang terus mengalami penurunan kualitas ekosistem. Jumlah penduduk yang demikian besar dengan tingkat kesejahteraan yang disinyalir kian mengalami penurunan dari tahun ke tahun, telah menyebabkan tekanan terhadap kebutuhan sumber daya hutan yang semakin meningkat. Akibatnya, perubahan ekosistem Pulau Jawa yang mengarah pada penurunan kualitasnya tak mungkin terhindarkan. Perubahan status dan fungsi hutan untuk pemenuhan berbagai kepentingan pembangunan, seperti industri, permukiman, dan pertanian telah menyebabkan ketersediaan hutan sebagai penyangga ekosistem kian menurun. Belum lagi praktik penebangan hutan yang dilakukan, baik secara legal maupun praktik penebangan liar dan pencurian kayu oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab. Kondisi tersebut diyakini semakin mengurangi bahkan meniadakan fungsi hutan sebagai pengatur keseimbangan  tanah dan air.

 Ekosistem Pulau Jawa telah mengalami deficit (kekurangan) kawasan hutan. Salah satunya tecermin dari luas kawasan hutan yang dari hari ke hari terus mengalami penurunan. Data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa-Madura tahun 2004 menunjukkan bahwa dari seluruh wilayah Jawa seluas 13.411,2 ribu hektare, kurang lebih hanya 23,4 persen atau seluas 3.136 ribu hektare yang merupakan kawasan hutan. Kondisi tersebut jelas merupakan sebuah sinyal lampu merah bagi kelangsungan ekosistem Pulau Jawa. Konkretnya, daratan di Jawa telah mengalami deficit (kekurangan) lahan dalam bentuk hutan yang seharusnya minimal mencapai 30 persen dari total luas areal sebagaimana dinyatakan dalam UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Realitas di atas jelas kian memprihatinkan tatkala membedah lebih dalam kawasan hutan yang tersisa di Pulau Jawa.

Ternyata dari keseluruhan luas hutan yang ada, persentase hutan lindung dan kawasan yang notabene berfungsi untuk kepentingan lindung justru paling kecil, yaitu seluas 750,9 ribu hektare (23,9 persen). Hutan produksi tetap seluas 1.558,9 ribu hektare (49,7 persen) dan hutan produksi terbatas seluas 371,8 ribu hektare (11,8 persen). Bahkan, penelusuran atas kondisi lahan terhadap kawasan hutan yang ada di atas ternyata dari seluruh kawasan hutan yang ada di Jawa-Madura tersebut hanya seluas 2.170,4 ribu hektare (69,2 persen) yang kondisi lahannya masih berhutan. Artinya, bila dibandingkan dengan luas wilayah Jawa-Madura, kawasan hutan yang masih berhutan tersebut hanya 16,2 persen. Penyimpangan fungsi daerah aliran sungai (DAS) dan rusaknya ekosistem Jawa jelas merupakan dampak dari berbagai faktor penyebab yang bersifat kompleks.

Dari keseluruhan daratan Pulau Jawa seluas 13.404.500 hektare, ternyata 2.103.618,39 hektare di antaranya berada dalam kondisi sangat kritis, seluas 1.003.566,26 hektare kritis, dan agak kritis mencapai 386.365,34 hektare. Selain sangat dipengaruhi oleh ketepatan penetapan kebijakan tata guna hutan dan lahan, juga dipengaruhi peruntukan lahan sesuai dengan karakteristiknya dalam bingkai daerah aliran sungai (DAS). Pemerintah melalui UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah menetapkan luas daerah aliran sungai (DAS) minimal 30 persen dengan sebaran yang proporsional. Secara topografis, suatu daerah aliran sungai (DAS) dibatasi oleh garis tidak teputus yang menghubungkan titik-titik tertinggi dalam suatu wilayah. Karenanya, dapat pula dikatakan sebagai lahan yang bercirikan pada jenis kelerengan dan jenis tanah. Kelerengan berpotensi dalam peningkatan energi kinetik aliran sungai, sedangkan sifat tanah berpotensi dalam keterangkutan aliran air. Atas dasar itu ditetapkan klasifikasi tingkat kekritisan lahan ke dalam tiga kelas sebagai rambu-rambu dalam pemanfaatan atau pengelolaan suatu lahan, yang meliputi kelerengan lahan, kepekaan tanah terhadap erosi, dan intensitas hujan.

Banyak kawasan yang secara kategori peraturan perundang-undangan merupakan daerah resapan air sehingga statusnya harus berfungsi sebagai kawasan hutan, justru menjadi kawasan pertanian, seperti di dataran tinggi Dieng (Wonosobo), Kopeng (Solo), dan Tawangmangu (Karanganyar). Sebaliknya, kawasan-kawasan di daerah berketinggian yang semestinya merupakan kawasan lindung bagi pengatur keseimbangan  tanah dan air justru banyak menjadi kawasan hunian. Ironisnya, kawasan hunian tersebut justru sebagian besar adalah milik para pejabat, seperti kawasan Puncak di Bogor. Terakhir, daerah sepanjang aliran sungai atau bantaran kali yang wajib menjadi sabuk penyangga dan resapan air, kenyataannya justru menjadi kawasan permukiman kumuh dan padat masyarakat miskin. Karena itu, ketiga faktor di atas menjadi salah satu penyebab bencana rutin tahunan. Pada akhirnya menjadi sebuah gugatan atas efektivitas program penanaman hutan atau reboisasi, termasuk melalui gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (gerhan) yang telah menghabiskan triliunan rupiah dalam lima tahun terakhir.

Faktor Perhutani Jawa memang identik dengan berbagai karakteristik yang bersifat khas. Selain kepadatan penduduknya, karakteristik spesifik lain yang menonjol pada aspek kehutanan Pulau Jawa adalah pengelolanya. Sudah sejak lama pengelolaan hutan Jawa menjadi monopoli kewenangan Perhutani, sebuah BUMN berbentuk perusahaan umum yang diberi mandat untuk mengelola seluruh hutan Jawa. Dengan demikian, Perum Perhutani memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga kelestarian ekosistem lingkungan serta keseimbangan tanah dan air melalui pengelolaan hutan secara lestari dan berkelanjutan. Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi kualitas hutan Jawa di bawah pengelolaan Perum Perhutani terus mengalami penurunan. Banyak pihak terkecoh bahwa Perum Perhutani selalu menyatakan telah mengalami peningkatan kinerja yang tecermin dari meningkatnya laba dan pendapatan. Padahal, semua itu semu. Peningkatan laba dilakukan dengan mengorbankan kualitas lingkungan, antara lain melalui penurunan daur tebang yang kian pendek disertai dengan marginalisasi masyarakat sekitar hutan. Kegagalan Perum Perhutani dalam menjaga keamanan wilayahnya dari penebangan liar dan pencurian kayu di era reformasi juga telah memberikan andil kian parahnya kerusakan ekosistem hutan di seluruh Pulau Jawa. Karena itu, harus dilakukan upaya perubahan sistem dan praktik pengelolaan hutan Perum Perhutani. Jelas potret kerusakan ekosistem Jawa membutuhkan sebuah langkah mendasar untuk mengembalikan eksistensi dan fungsinya. Salah satu langkah terobosan yang harus berani diambil pemerintah, khususnya jajaran Dewan Direksi Perum Perhutani adalah melakukan perubahan  yang semula didominasi kegiatan penebangan hutan menuju kegiatan penanaman. Kebijakan penebangan hutan Jawa harus menjadi sebuah pilihan solusi dalam mengembalikan fungsi ekosistem Pulau Jawa. Dalam konteks tersebut, perlu pula dilakukan pembaharuan penugasan Perum Perhutani sebagai BUMN yang sangat terkait erat dengan upaya pelestarian fungsi ekosistem dan lingkungan yang bersifat publik. Untuk itu, Perum Perhutani tidak boleh lagi dibebani dengan kewajiban perolehan deviden bagi pendapatan negara semata. Namun, harus ditekankan kepada tugas menjaga ekosistem untuk keseimbangan lingkungan di Pulau Jawa. Kegiatan penebangan Perum Perhutani untuk sementara harus dihentikan demi mengembalikan keseimbangan fungsi ekosistem. Konsekuensi lanjutannya, pemerintah tidak boleh memasang target pendapatan kepada manajemen Perum Perhutani. Sebagai perusahaan, perwujudan aspek ekonomi perusahaan dalam bentuk pendapatan harus diupayakan melalui pengembangan hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan yang tidak merusak hutan dan lingkungan. Sudah saatnya Perum Perhutani mengubah cara pengelolaan hutannya melalui kebijakan penebangan hutan. Semua itu untuk kepentingan jangka panjang seluruh penduduk Pulau Jawa sekaligus keselamatan ekosistemnya.


 PENYEBAB

Faktor utama yang menyebabkan rusaknya ekosistem hutan adalah manusia. Hal itu merupakan suatu fakta yang tercermin dari beberapa tindakan menyimpang yang dilakukan oleh manusia, antara lain :

  • Penebangan liar
  • Penebangan sebelum waktunya
  • Kebakaran hutan akibat keteledoran manusia
  • Pencurian sumber daya hasil hutan
  • Penggunaan kawasan hutan sebagai lahan pertanian dan pemukiman penduduk
  • Menggunakan sumber daya hasil hutan dengan semena-mena

SOLUSI

Kerusakan ekosistem hutan di Pulau Jawa dari tahun ketahun terus meningkat, oleh sebab itu harus segera ditanggulangi agar tidak semakin parah. Beberapa solusi yang mungkit dapat dilakukan adalah dengan cara sebagai berikut :

  • Melakukan reboisasi
  • Mehentikan penebangan liar
  • Tidak menggunakan kawasan hutan sebagai lahan pertanian serta pemukiman
  • Menggunakan sumber daya hasil hutan dengan efektif

Namun semua solusi diatas akan sia-sia dan tidak akan terwujud dengan maksimal apabila tidak ada kesadaran dari dalam diri setiap individu untuk memperbaiki perilakunya. Oleh karena itu, dibutuhkan kebersamaan dalam menjaga dan melestarikan ekosistem hutan demi kelangsungan hidup manusia di masa depan.


les privat surabaya, les privat surabaya, les privat surabaya, les privat surabaya, lbb privat surabaya, lbb privat surabaya, lbb privat surabaya, lbb privat surabaya, lbb privat surabaya, les privat, les privat,les privat,les privat, lbb privat, lbb privat,lbb privat,lbb privat,lbb privat, guru privat, guru privat, guru privat, guru privat, guru privat surabaya

Tinggalkan Balasan