Neraca yang mencatat semua transaksi keuangan internasional sebuah negara dengan dasar pembukuan double-entry. Komponen-komponen Neraca pembayaran adalah neraca berjalan (impor dan ekspor barang serta jasa), neraca modal (mobilitas investasi), dan neraca emas (mobilitas emas yang dimiliki). Surplus dan defisit ditujukan dalam account yang berbeda.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada hari ini, 5 Juni 2008, memutuskan untuk menaikkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 8,50%. Kenaikan BI Rate ini ditetapkan setelah mencermati perkembangan terkini baik perekonomian global maupun domestik.
“Masih tingginya harga komoditas energi dan bahan pangan dunia serta dampak kenaikan harga BBM memberikan tekanan pada inflasi di tahun 2008. Bank Indonesia juga melihat bahwa tren peningkatan permintaan domestik turut memberikan tekanan pada inflasi inti. Perkembangan ini mendasari pertimbangan Bank Indonesia untuk menaikkan BI Rate pada bulan ini,” demikian disampaikan Gubernur Bank Indonesia, Boediono.
Boediono selanjutnya menyampaikan, “Inflasi pada 2008 kemungkinan akan meningkat pada kisaran 11,5-12,5% (yoy). Namun kami memperkirakan bahwa dengan berbagai kebijakan yang telah dan akan dilakukan, baik oleh Bank Indonesia maupun Pemerintah, inflasi akan kembali mengarah ke satu digit di tahun 2009 pada kisaran 6,5%�1%. Bank Indonesia akan memfokuskan pada upaya meredam dampak tidak langsung dari kenaikan harga BBM dan pangan. Untuk itu, Bank Indonesia akan memanfaatkan secara optimal seluruh piranti moneter yang ada, baik melalui BI Rate, pengendalian volatilitas nilai tukar, penyerapan ekses likuiditas, optimalisasi Operasi Pasar Terbuka (OPT), maupun kebijakan-kebijakan lainnya.”
“Selanjutnya, dalam rangka optimalisasi pengendalian OPT, maka terhitung sejak tanggal 9 Juni 2008, Bank Indonesia akan melakukan perubahan sasaran operasional dari suku bunga SBI 1 bulan menjadi suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Dengan perubahan tersebut, Bank Indonesia akan menjaga pergerakan suku bunga PUAB O/N disekitar level BI Rate”, demikian tambah Boediono.
“Penerapan inflation targeting framework dalam rejim nilai tukar mengambang bebas akan tetap menjadi pegangan Bank Indonesia. Upaya menjaga volatilitas nilai tukar merupakan unsur penting dari kebijakan tersebut dalam menurunkan tekanan inflasi. Ke depan, Bank Indonesia melihat ruang bagi apresiasi rupiah, sejalan dengan dukungan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)”, tambah Boediono.
Inflasi IHK Mei 2008 secara bulanan berada jauh di atas pola historisnya dan meningkat menjadi 1,41% dari 0,57% di bulan sebelumnya. Sementara itu, secara tahunan, inflasi Mei 2008 tercatat sebesar 10,38% atau meningkat signifikan dibanding inflasi tahunan bulan sebelumnya (8,96%). Dengan perkembangan tersebut, inflasi year-to-date sampai dengan bulan Mei 2008 telah mencapai 5,47%. Kenaikan harga BBM bersubsidi di akhir bulan memberi dampak yang signifikan pada peningkatan laju inflasi Mei 2008. Aksi menaikkan harga berbagai komoditas menjelang kenaikan harga BBM berkontribusi terhadap tingginya inflasi Mei 2008. Mengingat bahwa dampak kenaikan BBM diperkirakan belum sepenuhnya terefleksi pada inflasi di bulan Mei 2008 maka tekanan inflasi akibat kenaikan harga BBM diperkirakan masih akan berlanjut kembali di bulan-bulan selanjutnya.
Meski dihadapkan pada tekanan inflasi yang tinggi, Bank Indonesia mencermati bahwa perekonomian Indonesia masih menunjukkan ketahanan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2008 yang tumbuh cukup tinggi sebesar 6,3%. Angka pertumbuhan tersebut terutama didorong oleh meningkatnya investasi nonbangunan. Di sisi lain, kenaikan harga beberapa komoditas pertanian dan barang tambang di pasar internasional memberikan sumbangan pada meningkatnya ekspor. Kenaikan harga tersebut didukung pula oleh permintaan yang masih tinggi dari negara-negara emerging market.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) diprakirakan mencatat kinerja yang baik terutama disumbang oleh neraca transaksi berjalan. Surplus transaksi berjalan triwulan II-2008 diperkirakan tetap tinggi mencapai USD 2,6 miliar atau 2,3% dari PDB. Untuk keseluruhan tahun 2008, Bank Indonesia memprakirakan Neraca Pembayaran Indonesia berpotensi lebih baik dari perkiraan semula. Faktor tingginya harga komoditas internasional masih mendukung kinerja ekspor. Masih kuatnya kinerja NPI mengindikasikan bahwa perekonomian kita memiliki ketahanan dan selanjutnya akan berdampak positif terhadap kestabilan nilai tukar rupiah. Cadangan devisa sampai dengan akhir Mei 2008, tercatat masih tinggi mencapai USD 57,5 miliar. Sementara nilai tukar rupiah selama bulan mei ini relatif stabil dibandingkan bulan sebelumnya.
Industri perbankan secara umum masih menunjukkan kinerja dan ketahanan yang baik. Pelaksanaan fungsi intermediasi yang terus meningkat sebagian besar didanai dari dana Pihak Ketiga (DPK). Kredit perbankan April 2008 naik Rp 22,9 triliun (2,1%) dari Rp.1.080,1 triliun menjadi Rp.1.103,1 triliun. Secara year-on-year (April 2008 -April 2007), kredit meningkat Rp.247,7 triliun atau sekitar 29%. Sekitar 71% dari total kredit ini dialokasikan kepada kredit modal kerja dan investasi. DPK pada periode yang sama naik 1,1% dari Rp 1.466,2 triliun (Maret 2008) menjadi Rp 1.481,8 triliun (April 2008). Kenaikan kredit yang lebih besar dari kenaikan DPK pada bulan ini menyebabkan rasio LDR perbankan naik dari 73,7% (Maret 2008) dan kembali mencapai level tertinggi 74,4% pada April 2008. Sementara rasio non performing loans (NPL) perbankan baik gross maupun net naik sedikit, dari 4,33% menjadi 4,39%, dan dari 1,78% menjadi 1,83%.
Ke depan, Bank Indonesia akan tetap melaksanakan kebijakan moneter secara konsisten dan terukur untuk mengamankan arah perkembangan inflasi sebagaimana tersebut di atas. Bank Indonesia juga akan selalu berkoordinasi secara intensif dengan Pemerintah dalam menyikapi berbagai dinamika perekonomian dalam dan luar negeri.
Surplus neraca pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan II-2008 mengalami penurunan dibanding triwulan sebelumnya. Surplus NPI pada triwulan II tercatat sebesar US$ 2,6 miliar sedangkan triwulan I-2008 surplus mencapai US$ 2,8 miliar.
Demikian seperti dilansir situs resmi Bank Indonesia (BI) yang dikutip detikFinance, Kamis (14/8). Surplus NPI triwulan II-2008 ini sama dengan surplus NPI pada triwulan II-2007.
Secara keseluruhan, surplus NPI triwulan II-2008 tercatat US$ 2,6 miliar, sehingga cadangan devisa akhir triwulan II-2008 menjadi US$ 59,5 miliar atau setara dengan 5,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
Penurunan surplus terjadi karena meningkatnya impor bahan baku dan barang modal untuk keperluan ekspor dan investasi yang meningkat seiring pertumbuhan ekonomi yang meningkat pula.
Kenaikan nilai impor ini memang dalam jangka waktu pendek akan mengurangi surplus pada NPI. Namun ke depan, dengan mulai tumbuhnya perekonomian, perkembangan NPI pada tahun 2008 diharapkan tetap mencatat surplus yang tinggi.
Ditinjau dari neraca perdagangannya, kinerja ekspor nonmigas triwulan II-2008 diperkirakan masih tumbuh lebih tinggi dengan dukungan utama tetap berasal dari tingginya harga komoditas di pasar internasional.
Berdasarkan data periode Januari-Mei 2008, nilai ekspor nonmigas tercatat sebesar US$ 44,6 miliar atau tumbuh 19,7% (yoy) dari periode yang sama tahun lalu.
Di sisi lain, impor nonmigas periode Januari-Mei 2008 tercatat sebesar US$ 15,2 miliar atau tumbuh 44,8% (yoy) dengan komposisi pertumbuhan kelompok komoditas barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal masing-masing sebesar 27,6%, 44,9%, dan 57,1% (yoy).
Pertumbuhan impor nonmigas diperkirakan akan berdampak positif bagi perekonomian domestik mengingat sejak awal tahun 2006 tren positif pertumbuhan impor terindikasi sejalan dengan pertumbuhan konsumsi dan investasi.
Di sektor migas, neraca perdagangan ditopang oleh tingginya nilai ekspor gas. Selama Januari-April 2008, nilai ekspor minyak dan gas masing-masing tercatat sebesar US$ 5,4 miliar dan US$ 5,3 miliar atau masing-masing tumbuh sebesar 61,5% dan 59% dari periode yang sama tahun lalu.
Lonjakan harga juga memicu pertumbuhan nilai impor minyak selama Januari-April 2008 yang cukup tinggi (59%, yoy), meskipun dari segi volume cenderung mengalami penurunan menyusul turunnya konsumsi domestik yang mengikuti pola musiman pada awal tahun.
Kembali melonjaknya harga minyak dunia selama triwulan II-2008 telah mengakibatkan disparitas harga antara BBM subsidi dengan BBM nonsubsidi kembali meningkat, bahkan telah menyamai kisaran sebelum kenaikan harga BBM pada tanggal 24 Mei 2008.
Tekanan inflasi di Indonesia pada November 2008 mulai mereda. Hal ini sejalan dengan mulai melambatnya perekonomian domestik sebagai dampak dari melemahnya perekonomian global dan menurunnya harga-harga komoditas internasional. Ke depan, Bank Indonesia memperkirakan bahwa tekanan inflasi 2009 akan menurun dan cenderung berada pada kisaran batas bawah 6,5%-7,5%. Bank Indonesia memandang bahwa dampak krisis global pada melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik mulai tampak pada kuartal III-2008 dan akan semakin terlihat pada tahun 2009. Sementara itu, krisis keuangan global juga telah berdampak pada kinerja di sektor keuangan Indonesia seperti yang ditunjukkan oleh meningkatnya yield SUN, anjloknya harga saham, dan melemahnya nilai tukar. Menyikapi perkembangan tersebut, Dewan Gubernur Bank Indonesia memandang perlu untuk menempuh kebijakan moneter yang mampu menjaga keseimbangan antara upaya menjaga gairah di sektor dunia usaha dan mengurangi kerentanan di pasar keuangan dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi jangka panjang.
Bank Indonesia senantiasa mencermati berbagai gejolak yang terjadi di pasar keuangan global serta dampaknya pada perekonomian Indonesia. Fenomena global yang saat ini dirasakan adalah terjadinya sebuah proses deleveraging yang mengakibatkan keketatan likuiditas global sehingga mendorong perpindahan portfolio investor termasuk dari Indonesia. Repricing yang dilakukan oleh investor seiring dengan meningkatnya persepsi risiko semakin mendorong aliran modal keluar (capital outflows) dari emerging market. Bursa saham regional mencatat penurunan indeks harga yang cukup tajam, pasar obligasi di sebagian negara kawasan mencatat peningkatan yield. Derasnya aliran keluar modal asing pada akhirnya mendorong tekanan pada hampir semua mata uang dunia.
Dampak dari proses tersebut adalah tekanan pada nilai tukar Rupiah. Selama bulan November 2008, nilai tukar secara rata-rata mencatat pelemahan sebesar 13,8%, lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 6,5%. Depresiasi yang terjadi disertai dengan peningkatan volatilitas, yang terutama dipicu oleh sentimen negatif pasar (market confidence), di tengah kondisi pasokan valas di dalam negeri yang semakin terbatas. Tekanan juga dirasakan pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Meski demikian searah dengan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia untuk mengantisipasi krisis lebih lanjut, pelemahan IHSG dapat tertahan. Secara bulanan, IHSG melemah hanya sebesar 1,2% dan ditutup pada posisi 1241 atau lebih rendah dibandingkan pelemahan bulan sebelumnya sebesar 31,4%.
Di sisi lain, tekanan inflasi mulai dirasakan mereda. Perkembangan eksternal dan permintaan dalam negeri yang melemah telah menyebabkan berkurangnya tekanan inflasi di dalam negeri. Kelompok harga makanan yang bergejolak (volatile food) mencatat penurunan laju inflasi yang besar dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini terkait dengan masih berlanjutnya penurunan harga komoditas internasional. Deflasi juga terjadi pada kelompok harga barang yang ditentukan pemerintah (administered price). Meski mereda, Bank Indonesia mencermati masih adanya potensi tekanan di sisi inflasi inti, terkait dengan pelemahan nilai tukar rupiah. Meski demikian, tekanan tersebut masih dapat dikompensasi sebagian oleh penurunan harga komoditas internasional. Dengan perkembangan tersebut, inflasi IHK selama bulan November 2008 tercatat sebesar 0,12% (mtm), lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yaitu sebesar 0,45%.
Di tengah berbagai gejolak tersebut, kondisi perbankan Indonesia secara fundamental masih dapat terjaga. Indikator-indikator utama perbankan menunjukkan ketahanan yang tetap baik dan mantap, seperti tercermin berbagai indikator utama perbankan seperti CAR dan NPL. Sementara itu, kondisi likuiditas perbankan yang sempat mengalami keketatan, sudah mulai longgar kembali. Namun, perbankan terlihat mulai berhati-hati dalam menyalurkan kredit seiring dengan meningkatnya risiko ke depan sebagai dampak dari melemahnya perekonomian di sektor riil.
Ke depan, gejolak eksternal diprakirakan akan memengaruhi kinerja perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi di triwulan IV-2008 diprakirakan mulai menurun walaupun secara keseluruhan tahun 2008 masih dapat mencatat sekitar 6.1% dan akan semakin melemah di tahun 2009. Pelemahan ekonomi global yang lebih dalam, termasuk kontraksi ekonomi yang akan terjadi di berbagai, diprakirakan akan mendorong pelemahan kinerja ekspor secara signifikan. Tekanan terhadap ekspor bertambah berat terutama ketika penurunan harga komoditas di pasar internasional masih terus berlanjut hingga tahun mendatang. Di sisi domestik, menurunnya pendapatan dari ekspor serta tersendatnya sumber pembiayaan perbankan diprakirakan akan menyebabkan pelemahan daya beli masyarakat. Penyaluran kredit konsumsi diprakirakan menurun akibat meningkatnya persepsi risiko debitur, disamping kecenderungan perbankan menjaga likuiditas yang relatif tinggi di tengah ketidakpastian.
Sementara itu, inflasi IHK selama 2009 diprakirakan mendekati batas bawah kisaran proyeksi 6,5-7,5% (yoy). Tekanan inflasi ke depan diperkirakan menurun. Berkurangnya tekanan terhadap inflasi didukung oleh kondisi permintaan domestik yang melambat secara signifikan, serta prakiraan harga komoditas internasional yang masih mengalami penurunan. Prakiraan harga dunia tersebut diprakirakan akan mengurangi dampak negatif dari nilai tukar Rupiah yang diperkirakan akan melemah di tahun 2009, sehingga imported inflation diprakirakan tidak memberi tekanan yang signifikan pada laju inflasi.
Dengan berbagai perkembangan tersebut, dalam tataran kebijakan, Bank Indonesia akan menjaga keseimbangan antara upaya mencegah semakin melambatnya perekonomian riil dengan tetap berorientasi pada pencapaian sasaran inflasi jangka menengah dan panjang. Untuk itu, Bank Indonesia dalam keputusan Dewan Gubernur BI pada 4 Desember 2008 menurunkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 9,25%. Penurunan BI Rate ini diharapkan dapat menjaga gairah perekonomian domestik di tengah melesunya perekonomian global. Di sektor riil, penurunan suku bunga diperlukan untuk mendorong kepercayaan dunia usaha terhadap perekonomian Indonesia yang sangat dibutuhkan untuk mengurangi tingkat pengangguran. Di sektor keuangan, penurunan BI Rate ini juga akan mengurangi kerentanan yang ada sehingga mengurangi risiko di sektor ini.
Selain itu, kebijakan tersebut akan tetap diikuti oleh pemanfaatan piranti moneter lain secara optimal, seperti intervensi di pasar valas untuk meminimalkan volatilitas nilai tukar rupiah. Bank Indonesia akan terus menerus mencermati dan memonitor perkembangan ekonomi global dan akan melakukan penyesuaian kebijakan apabila diperlukan dalam tujuan menjaga kestabilan ekonomi dan pencapaian sasaran inflasi jangka menengah panjang.
Gejolak krisis keuangan global telah mengubah tatanan perekonomian dunia. Krisis global yang berawal di Amerika Serikat pada tahun 2007, semakin dirasakan dampaknya ke seluruh dunia, termasuk negara berkembang pada tahun 2008. Sejumlah kebijakan yang sangat agresif di tingkat global telah dilakukan untuk memulihkan perekonomian. Di Amerika Serikat, sebagai episentrum krisis, kebijakan pemerintah baru yang menempuh langkah serius untuk mengatasi krisis, menjadi faktor positif yang dapat mengurangi pesimisme akan resesi yang berkepanjangan dan risiko terjadinya depresi. Sementara itu,kemauan negara-negara industri maju lainnya untuk berkoordinasi dalam kebijakan pemulihan ekonomi juga diharapkan dapat meningkatkan keyakinan pelaku pasar. Namun, proses berbagai lembaga keuangan memperbaiki struktur neracanya (deleveraging) yang diperkirakan masih terus berlangsung, serta dampak umpan balik dari sektor riil ke sektor keuangan, menyebabkan risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan global masih tinggi.
Di Indonesia, imbas krisis mulai terasa terutama menjelang akhir 2008. Setelah mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 6% sampai dengan triwulan III-2008, perekonomian Indonesia mulai mendapat tekanan berat pada triwulan IV-2008. Hal itu tercermin pada perlambatan ekonomi secara signifikan terutama karena anjloknya kinerja ekspor. Di sisi eksternal, neraca pembayaran Indonesia mengalami peningkatan defisit dan nilai tukar rupiah mengalami pelemahan signifikan. Di pasar keuangan, selisih risiko (risk spread) dari surat-surat berharga Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang mendorong arus modal keluar dari investasi asing di bursa saham, Surat Utang Negara (SUN), dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Secara relatif, posisi Indonesia sendiri secara umum bukanlah yang terburuk di antara negara-negara lain. Perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh sebesar 6,1% pada 2008. Sementara kondisi fundamental dari sektor eksternal, fiskal dan industri perbankan juga cukup kuat untuk menahan terpaan krisis global (Tabel 1). Meski demikian, dalam perjalanan waktu ke depan, dampak krisis terhadap perekonomian Indonesia akan semakin terasa.
Semakin terintegrasinya perekonomian global dan semakin dalamnya krisis menyebabkan perekonomian di seluruh negara akan mengalami perlambatan pada tahun 2009. Indonesia tak terkecuali. Bank Indonesia memperkirakan perekonomian Indonesia di tahun 2009 akan tumbuh melemah menjadi sekitar 4,0%, dengan risiko ke bawah terutama apabila pelemahan ekonomi global lebih besar dari yang diperkirakan. Penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut bukan sesuatu yang buruk apabila dibandingkan dengan banyak negara-negara lain yang diperkirakan tumbuh negatif. Oleh karenanya, upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk mencegah dampak krisis ini meluas lebih dalam, melalui kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor riil, menjadi penting untuk dilakukan di tahun 2009.
Dalam beberapa hari ini, Rupiah kita sedikit mengalami penguatan setelah mengalami pelemahan dan menembus level Rp12.300-an pada akhir November lalu. Meski menguat, Rupiah yang kini di level Rp11.900 per US$ masih tetap dianggap rendah. Dalam beberapa diskusi, kini muncul wacana yang menyebut bahwa melemahnya Rupiah saat ini sesungguhnya dapat dimengerti karena Rupiah memang perlu ekuilibrium baru, setelah sekian lama bertahan di level Rp9.500-an per US$. Sayangnya, kalau memang Rupiah perlu ekuilibrium baru, hingga kini belum ada pernyataan resmi dari otoritas, berapa sesungguhnya level yang tepat untuk Rupiah. Kemudian, kalau memang level Rp9.500 per US$ dianggap overvalued, lalu kenapa dalam setiap penyusunan APBN, misalnya, level Rp9.500-an yang selalu dipakai? Kenapa juga diskusi bahwa kurs Rupiah overvalued baru muncul ketika krisis keuangan global ini mulai berpengaruh pada perekonomian kita?
Terlepas dari diskusi bahwa Rupiah perlu ekuilibrium baru, penulis berpendapat bahwa penting bagi otoritas untuk menjaga agar Rupiah kita menguat kembali. Kenapa demikian? Ini mengingat, terdapat kepentingan untuk menghindari kejatuhan sektor industri kita (khususnya manufaktur) bila Rupiah dibiarkan melemah seperti saat ini. Dan kita telah sama-sama paham bahwa sektor industri ini menopang jutaan tenaga kerja yang perlu dilindungi agar tidak terkena PHK.
Satu hal yang perlu dipahami bahwa krisis ekonomi yang sedang mengancam kita saat ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan krisis ekonomi 1998. Penulis termasuk yang kurang sepakat bila kita mencoba menghubung-hubungkan antara krisis yang mengancam kita saat ini dengan krisis ekonomi 1998.
Pada tahun 1998, krisis berasal dari dalam diri kita sendiri. Sehingga, wajar bila respon pasar terhadap prospek ekonomi kita waktu itu dinilai rendah yang kemudian direpresentasikan dengan kejatuhan Rupiah yang sempat tembus di level Rp16.000-an per US$. Ini mengingat, pada waktu itu, ada alternatif perekonomian lain yang bisa memberikan prospek yang lebih baik dibandingkan Indonesia. Sementara itu, krisis yang sedang mengancam kita saat ini adalah sebagai imbas dari krisis dari Amerika Serikat (AS), yang kemudian berdampak luas bagi dunia. Logikanya, karena saat ini semua negara dalam posisi yang sama-sama terancam krisis, semestinya Rupiah dalam posisi yang netral. Oleh karenanya, dapat diyakini bahwa kejatuhan Rupiah saat ini adalah bukan dalam rangka mencari ekuilibrium baru, melainkan karena suatu faktor baik yang dapat dibenarkan secara rasional maupun yang bersifat tidak rasional (misalnya, spekulasi).
Pemerintah memperkirakan tingkat penggangguran pada 2009 akan mengalami kenaikan dibandingkan 2008 akibat turunnya pertumbuhan ekonomi tahun depan dibandingkan tahun ini.
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta di Jakarta, Senin (15/12), mengatakan, pada tahun ini tingkat pertumbuhan ekonomi nasional melebihi 6 persen, sedangkan 2009 kurang dari 6 persen atau sekitar 4,5 hingga 5 persen.
“Dampaknya, penggangguran akan makin besar jika dihitung dari pengadaan lapangan kerja pada program-program prioritas,” katanya pada seminar bertema “Reformulasi Kebijakan Pembangunan Daerah”.
Penurunan angka pertumbuhan ekonomi nasional 2009, tambahnya, sebagai dampak dari krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi saat ini.
Program prioritas yang dinilai mampu menyerap tenaga kerja saat ini, yakni kegiatan pembangunan yang dilakukan kementerian dan lembaga, seperti di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kehutanan, Departemen Kesehatan, Departemen Perhubungan, Departemen Agama, dan Kementerian Perumahan Rakyat.
Selain itu, menurut Paskah, dampak krisis ekonomi global pada 2009 juga akan melanda sektor industri ketika pabrik-pabrik mengurangi jumlah tenaga kerja. Kendati demikian, Menteri/Kepala Bappenas mengungkapkan akan terjadi penyerapan tenaga kerja oleh sektor-sektor informal, terutama melalui program pembangunan yang dikembangkan oleh kementerian dan lembaga.
Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, pemerintah menargetkan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 2,5 juta orang pada tahun depan dari program pembangunan yang dilaksanakan kementerian dan lembaga.
Pada 2009, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp10,4 triliun untuk kegiatan PNPM dengan setiap kecamatan mendapatkan dana Rp 1,7 miliar untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan yang mampu menyerap tenaga kerja.
Selain itu, pemerintah juga menyiapkan dana Rp 5,2 triliun sebagai dana Bantuan Langsung Masyarakat. “Program-program itu diharapkan mampu menjaga daya beli masyarakat maupun penyerapan tenaga kerja,” katanya.
Sementara pada 2008, menurut dia, kegiatan PNPM mampu menyediakan tambahan lapangan kerja untuk 1,6 juta orang dengan upah sebanyak Rp 35.000 per hari per orang untuk masa kerja 60 hari dalam satu tahun dengan total anggaran Rp 6,3 triliun.
Selain itu, dari program penanggulangan kemiskinan melalui kegiatan pembangunan pada kementerian dan lembaga selama 2008 mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1,4 juta orang.
Seusai memimpin rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta, Minggu (14/12), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan penyesuaian terhadap harga dua jenis bahan bakar minyak, menyusul merosotnya harga minyak dunia.”Terkait inflasi pemerintah memutuskan berapa harga BBM yang tepat dan pantas. Saya sudah mengambil keputusan untuk menurunkan harga premium dan solar,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Harga premium diturunkan sebesar Rp 500 menjadi Rp 5.000 per liter. Sebelumnya, di awal bulan Desember, premium pun telah mengalami penurunan harga dari Rp 6.000 menjadi Rp 5.500. Harga solar pun diturunkan, menjadi Rp 4.800, atau turun Rp 700 dari harga semula. Penyesuaian harga ini akan mulai diberlakukan mulai tanggal 15 Desember pukul 00.00.
Sementara itu, Penjabat Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengatakan penurunan harga itu dilakukan setelah melihat penurunan harga minyak mentah dunia yang cukup tajam. “Dengan penurunan harga ini diharapkan terjadi penurunan inflasi sebesar 0,3 persen hingga 0,5 persen sehingga daya beli masyarakat bisa terjaga dengan penurunan inflasi tersebut,” kata Sri Mulyani.
Gubernur Bank Indonesia Boediono mengatakan, cadangan devisa saat ini mencapai US$ 50,6 miliar, meningkat sekitar US$ 420 juta dibanding posisi 28 Novembver 2008 yang mencapai US$ 50,18 miliar. “Terakhirkan kan cadangan devisa US$ 50,6 miliar,” katanya di Jakarta, Jumat (12/12).
Menurut dia, pihaknya terus berupaya untuk memperkuat cadangan devisa terutama untuk mengantisipasi 2009.
Ia mengatkan, dalam bulan Desember ini, cadangan devisa akan ada tambahan sekitar US$ 2 miliar yang berasal dari bantuan program yang ditarik pemerintah. Selain itu ia mengatakan, awal tahun depan akan ada lagi tambahan untuk cadangan devisa.
“Selain itu ada beberapa upaya dan belum bisa kita sampaikan hasilnya untuk mendapatkan dukungan pada balance of payment (neraca pembayaran), yaitu fasilitas yang tidak masuk ke APBN (anggaran penerimaan dan belanja negara), namun ke cadangan devisa,” katanya.
Namun, ia belum mau memberitahukan fasilitas apa yang tengah diusahakan. “Nanti saja?” katanya singkat ketika ditanyakan wartawan tentang fasilitas yang tengah diusahakan tersebut.
Beberapa waktu lalu, Boediono menyatakan, dirinya tengah berbincang dengan Gubernur The Fed, Ben Bernanke mengenai kemungkinan Indonesia mendapatkan bantuan fasilitas swap dari AS.
Sementara itu, baru-baru ini Bank Dunia baru menandatangani persetujuan pinjaman kepada pemerintah Indonesia senilai US$ 950 juta yang dapat digunakan untuk keperluan APBN.
Kepala Ekonom Bank Dunia di Indonesia William E Wallace mengatakan, pinjaman itu setidaknya bisa menambah cadangan devisa dalam bulan Desember ini karena dapat dicairkan segera.
Sementara itu, sejak Juli 2008, cadangan devisa terus merosot sekitar US$ 10 miliar. Akhir Juli 2008, cadangan devisa mencapai US$ 60,563 miliar, tertinggi selama 2008 ini. Agustus, cadangan devisa turun menjadi US$ 58,358 miliar. Akhir September, kembali merosot US$ 1,15 miliar menjadi US$ 57,108 miliar.
Penurunan cadangan devisa salah satunya digunakan untuk intervensi rupiah agar tidak bergejolak secara dalam. Sementara itu rupiah sejak Juli 2008 mengalami pelemahan.
Pada akhir Juli, berdasarkan data BI, nilai kurs beli dolar Rp9.072 sementara jual Rp9.164. Sedangkan pada 31 Oktober 2008, kurs jual Rp11.050 dan kurs beli Rp10.940. Rupiah pada November rupiah sempat mencapai angka tertinggi menembus Rp12.000. Selama sepekan ini, rupiah mengalami penguatan.Kini rupiah menurut data BI diperdagangkan pada level Jual Rp11.105 per dolar AS dan beli Rp10.995 per dolar AS.
Bank Indonesia secara resmi akan mencabut empat pecahan uang kertas mulai 31 Desember 2008, demikian siaran pers BI di Jakarta, Rabu (26/11).
Keempat uang kertas tersebut adalah Rp10.000 yang diterbitkan pada 1998 dengan gambar muka Pahlawan Nasional Cut Nyak Dhien, Rp20.000 tahun terbit 1998 dengan gambar muka Pahlawan Nasional Ki Hajar Dewantara.
Kemudian, uang kertas Rp50.000 terbitan 1999 dengan gambar muka Pahlawan Nasional WR. Soepratman dan Rp100.000 terbitan 1999 dengan gambar muka Pahlawan Proklamator Dr. Ir. Soekarno dan Dr. H. Mohammad Hatta yang berbahan polymer.
“Dengan pencabutan dan penarikan uang rupiah dari peredaran, terhitung mulai tanggal 31 Desember 2008, empat pecahan uang tersebut tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender),” kata Deputi Gubernur BI Bidang Pengedaran Uang S Budi Rochadi, dalam siaran persnya.
Namun, menurut dia, masyarakat yang masih memegang uang pecahan tersebut dapat melakukan penukaran dengan uang rupiah pecahan yang sama atau pecahan lainnya yang masih berlaku di kantor-kantor Bank Indonesia atau bank umum terdekat.
Untuk bank umum, batas waktu penukaran hingga 30 Desember 2013 atau 5 (lima) tahun sejak pencabutan dan penarikan uang tersebut. Sementara untuk penukaran di BI dapat dilakukan hingga 30 Desember 2018 atau selama 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal pencabutan.
“Bank Indonesia secara rutin melakukan pencabutan dan penarikan uang rupiah. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan antara lain masa edar yang cukup lama dan perkembangan teknologi unsur pengaman (security features) pada uang,” katanya.
Rupiah Kamis (11/12) pagi agak melemah setelah dalam beberapa hari terakhir terus menguat. Rupiah berada di posisi beli Rp 10.950 per dollar AS dan jual Rp 11.050 per dollar AS.
“Penurunan rupiah saat ini karena mata uang Indonesia sedang mencari titik keseimbangan baru yang berkisar antara Rp 10.500 dan Rp 11.000 per dollar AS,” kata Direktur Utama PT Financorpindo Nusa Edwin Sinaga di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan, rupiah masih mencari bentuk, belum stabil meski ada isu positif dari internal bahwa Indonesia akan mendapat pinjaman baru dari Bank Dunia. “Namun, sentimen positif itu tidak dapat menggerakkan rupiah menguat, bahkan terkoreksi karena pelaku kembali memburu dollar AS setelah merosot tajam,” katanya.
Rupiah sebelumnya terpuruk hingga di atas level Rp 12.300 per dollar AS, tetapi isu bahwa Pemerintah AS akan mempersiapkan dana talangan untuk mengurangi krisis keuangan AS memberikan kepercayaan masyarakat ekonomi AS akan tumbuh lebih baik.
Menurut Edwin Sinaga, rupiah akan kembali tertekan karena menjelang akhir tahun ini pelaku pasar sedang mempersiapkan diri dengan kembali membeli dollar AS bagi orang yang ingin berlibur ke luar negeri.
“Selain itu, banyak perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan impor harus segera membeli dollar AS untuk memenuhi kebutuhannya,” kata dia.
Lebih lanjut dia mengatakan meski rupiah terpuruk, posisinya masih di bawah level Rp 11.000 per dollar AS. Hal ini terjadi karena BI masih aktif memantau pergerakan rupiah lebih jauh. “Kami akan masuk pasar apabila rupiah memang memerlukan BI untuk intervensi untuk mendukung penguatan mata uang lokal itu,” katanya.
Apalagi BI juga memantau pergerakan bank-bank asing yang ada di dalam negeri agar mereka tidak berspekulasi lebih jauh terhadap dollar AS sehingga arus dollar AS yang masuk dan keluar dapat dipantau lebih jauh.
“Sekalipun kebutuhan dollar AS di pasar global sangat tinggi, dengan dibatasinya pergerakan jual beli dollar AS di pasar domesik akan membuat pergerakan kedua mata uang itu berada dalam kisaran sempit,” ucapnya.
Sepanjang tahun ini, total utang luar negeri yang telah ditarik oleh pihak swasta, baik perbankan, maupun non-bank telah mencapai sekitar 40 miliar dollar AS, sedangkan total utang luar negeri jangka pendek Indonesia, yang telah jatuh tempo pada Oktober 2008, mencapai sekitar 22 miliar dollar AS.
Namun, dari total utang yang telah jatuh tempo tersebut, tidak seluruhnya harus langsung dibayarkan sebab beberapa dari utang-utang tersebut masih bisa diperpanjang sesuai dengan struktur pinjamannya. Menurut Deputi Gubernur Senior BI Miranda Swaray Goeltom, rasio utang terhadap cadangan devisa (debt to reserve ratio) Indonesia masih lebih rendah bila dibandingkan dengan negara lainnya.
“Memang rasio utang terhadap cadangan devisa masih tinggi sebab penurunan cadangan devisa tidak diimbangi dengan pengurangan jumlah utang,” kata Miranda.
Miranda menegaskan bahwa penarikan utang luar negeri swasta tidak mengganggu cadangan devisa karena utang luar negeri swasta tidak dijamin oleh pemerintah. Turunnya cadangan devisa terutama disebabkan oleh intervensi yang dilakukan oleh BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Sampai dengan akhir November 2008, cadangan devisa Indonesia telah tergerus menjadi sebesar 50,18 miliar dollar AS atau turun sebesar 6,93 miliar dollar AS dibandingkan posisi akhir September yang lalu.
Untuk menurunkan rasio utang terhadap cadangan devisa, BI bersama dengan pemerintah akan menempuh berbagai cara, di antaranya dengan memanfaatkan pinjaman bilateral atau fasilitas Bilateral Swap Arrangement (BSA).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah :
Seiring dengan semakin parahnya krisis keuangan global, banyak ekonom yang cenderung pesimis dengan kondisi perekonomian dunia dalam 2 tahun kedepan. Menteri Keuangan di hampir seluruh negara sedang giat melakukan program stimulus guna menyelamatkan perekonomian domestik masing-masing negara. Dalam hal ini paket dan besaran stimulus berbeda di tiap negara tergantung dari tingkat keparahan krisis.
Membuka kembali sejarah krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1998, salah satu penyebab utama krisis adalah nilai tukar Rupiah yang turun sangat dalam. Kondisi serupa sedang terjadi belakangan ini, walaupun dalam magnitude yang lebih kecil dibandingkan keadaan tahun 1998. Ekonom A. Tony Prasetiantono di Kompas (Senin 16-02-09) mengulas beberapa faktor-faktor penyebab tren melemahnya nilai tukar rupiah. Diantara lima faktor yang dibahas, terdapat tiga faktor yang dapat dikatakan penyebab utama tren melemahnya nilai tukar Rupiah. Faktor tersebut adalah :
1. Penurunan Surplus Perdagangan.
2. Penurunan Arus Modal Masuk.
3. Penurunan Suku Bunga BI.
les privat surabaya, les privat surabaya, les privat surabaya, les privat surabaya, lbb privat surabaya, lbb privat surabaya, lbb privat surabaya, lbb privat surabaya, lbb privat surabaya, les privat, les privat,les privat,les privat, lbb privat, lbb privat,lbb privat,lbb privat,lbb privat, guru privat, guru privat, guru privat, guru privat, guru privat surabaya