Sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang dienyam oleh rakyatnya. Maju atau tidaknya suatu bangsa juga dapat dilihat dari maju atau tidaknya pendidikan suatu bangsa. Begitu pula dengan Indonesia yang memiliki sejarah perkembangan pendidikan dari masa klasik hingga masa sekarang yang terus selalu berkembang. Sesuai dengan perkembangan zaman, pendidikan juga selalu berkembang secara dinamis. Namun, tidak ada bangsa yang berkembang secara dinamis tanpa adanya proses, pergerakan, dan perkembangan pendidikannya.
Indonesia dalam perjalanan sejarahnya juga bergerak dengan proses, pergerakan, dan perkembangan pendidikannya. Yang kita ketahui sendiri bahwa tokoh-tokoh pemimpin bangsa Indonesia juga merupakan lulusan lembaga pendidikan. Apabila kita lihat perkembangan Indonesia, pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pendidikan adalah kebutuhan mendasar suatu bangsa, begitu pula bangsa Indonesia, untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Pada masa penjajahan bangsa asing, tanpa disadari oleh pihak penjajah bahwa sistem pendidikan yang diberikan dapat menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Pemuda-pemuda pribumi yang mendapatkan pendidikan dari penjajah justru berbalik menyusun kekuatan untuk memerdekakan bangsanya. Dan setelah merdeka, sistem pendidikan penjajah ada yang ditinggalkan dan ada yang masih dipertahankan
Pendidikan tidak berdiri sendiri, akan tetapi senantiasa dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik, social, ekonomi, dan cultural. Pendidikan dipandang sebagi alat politik untuk mengatur dan menguasai perkembangan suatu bangsa, walaupun politik sendiri tidak terlepas dari pengaruh social, ekonomi, dan budaya/cultural. Suatu bangsa akan dipandang sebagai bangsa yang maju dan berkualitas oleh bangsa lainnya apabila penduduk bangsa itu memiliki pendidikan yang mapan dan outpun dari pada pendidikan bangsa itu memiliki kualitas tinggi.
Hal tersebut dapat menjadi acuan kita untuk memberikan penilaian atas maju atau tidaknya suatu bangsa. Oleh sebab itu, system pendidikan yang dikembangkan oleh suatu bangsa sangat berpengaruh terhadap segenap aspek kehidupan masyarakatnya.
Pada permulaan abag ke-16, hampir seabad sebelum kedatangan Bangsa Belanda ke Nusantara, pedagang dari Portugis menetap di wilayah Indonesia bagian timur. Saat itu Portugis menyelenggarakan pendidikan Agama Katolik dalam rangka menyukseskan misi penyebaran agama Katolik yang mereka emban dari pemerintah mereka. Namun pada tahun 1605, kekuasaan Portugis melemah akibat serangan dari raja-raja Indonesia.
Tonggak pendidikan selanjutnya dikembangkan oleh VOC yang juga dipusatkan di bagian timur Indonesia dan Batavia (sekarang Jakarta). Pada tahun 1607 VOC mendirikan sekolah pertama di Ambon yang ditujukan sebagai tempat bagi anak-anak Indonesia bersekolah sebab pada saat itu belum ada anak-anak dari Belanda. Tujuan utama pendirian sekolah oleh VOC adalah untuk meruntuhkan ajaran Katolik dan menanamkan ajaran Protestan bagi anak-anak yang bersekolah pada sekolah yang dibuatnya itu. Seperti jamur di musim hujan, jumlah sekolah bertambah dengan pesatnya. Pada tahun 1632 terdapat 16 sekolah di Ambon, kemudian pada tahun 1645 jumlah sekolah meningkat menjadi 33 buah dengan 1.300 orang murid. Karena Belanda sudah merasa berhasil menlenyapakan ajaran Katolik, maka mulai abad ke-18, bangsa Belanda tidak tertarik lagi untuk mengembangkan sekolah, sehingga perkembangan sekolah mulai menurun.
Pada tahun 1630 di Batavia (Jakarta) didirikan sekolah untuk anak-anak orang Belanda dan Jawa agar menjadi pekerja yang kompeten pada VOC. Pada 1636 jumlah sekalah di Batavia bertambah menjadi 3 buah dan pada tahun 1706 telah ada 34 orang guru dan 4873 murid. Sekolah-sekolah itu terbuka bagi semua anak tanpa perbedaan kebangsaan.
Selama penguasaan VOC , kurikulum pendidikan yang digunakan bertalian erat dengan gereja dan menurut instruksi Heeren XVII. Pada saat itu setiap Gubernur di Indonesia diwajibkan untuk mendirikan sekolah untuk tujuan penyebaran agama Kristen. Peraturan yang dibuat oleh VOC adalah setiap guru diharuskan untuk memupuk rasa takut kepada Tuhan, mengajarkan dasar-dasar agama Kristen, mengakarkan anak berdoa, bernyanyi dengan nyanyian-nyanyian gereja, pergi ke gereja, mematuhi orang tua, mematuhi penguasa, dan guru. Pada saat itu juga diajarkan tentang katekismus, agama, membaca, menulis, berhitung, dan menyanyi dan pada saat itu juga belum ditentukan lama seseorang untuk bersekolah. Pada saat itu hanya ditentukan bahwa setiap anak yang berusia 16 tahun dan anak wanita yang berusia lebih dari 12 tahun hendaknya jangan dikeluarkan dari sekolah. Kemudian usia itu diturunkan menjadi 12 tahun untuk anak laki-laki dan 10 tahun untuk anak-anak perempuan.
Pembagian dalam 3 kelas untuk pertama kalinya dilakukan pada tahun 1778. Kelas 3 adalah kelas terendah dan di sana anak-anak diajari abjad, kelas 2 adalah tempat untuk belajar membaca, menulis, dan bernyanyi, sedangkan kelas 1 dalah kelas tertinggi diajari membaca, menulis, katekismus, bernyanyi dan berhitung. Perlu diketahui bahwa pada saat itu belum dikenal istilah pengajaran klasikal, artinya pengajaran dilakukan secara individual. Aryinya, seorang murid datang dan maju ke meja guru lalu ia diberikan bantuan belajar oleh gurunya.
Di sana-sini dipopulerkan untuk mengajarkan bahasa Belanda. Perkembangan pendidikan mulai merosot sejak pertengahan abad ke-18. Saat itu, Jakarta yang berpenduduk 16.000 jiwa hanya mumpunyai murid sebanyak 270 orang, Surabaya hanya 24 orang, dan di seluruh pulau Jawa hanya ada 350 orang murid. Pada tahun 1860 didirikan suatu sekolah menengah yang membuka kesempatan bagi anak-anak Belanda untuk melanjutkan pelajarannya di Universitas di Negara Belanda atau untuk mendapatkan jabatan yang tinggi dalam dunia pemerintahan.
Pada tahun 1817 Kurikulum pendidikan mulai berubah, kurikulum tiu meliputi bahasa daerah, berhitung, geometri elementer, geografi, sejarah, ilmu alam, menggambar, pedagogic, menulis tangan, dan bernyanyi. Pada tahun 1882, pendidikan bagi anak-anak Indonesia mengalami peningkatan. Jumlah murid Indonesia mencapai 40.992 dan pada tahun 1911 Komite Pendidikan diubah menjadi Departemen Pendidikan dan Agama. Pada tahun 1892 terdapat 6 sekolah guru dengan murid 233 dan 33 orang guru, 516 buah sekolah rendah pemerintah untuk anak peribumi.
Tahun 1907 Van Heutz mendirikan sekolah baru yang disebut dengan Sekolah Desa yang akan menyebarkan cahaya di seluruh Nusantara dan setelah tahun 1918 sekolah itu terbukti dapat memberikan cahaya bagi Nusantara. Namun demikian, pendapat umum memandang bahwa pada tahun 1910 Indonesia belum matang untuk mendirikan Perguruan Tinggi. Sehingga pada tahun 1920 didirikanlah Techniche Hogeschool (sekarang ITB) di Bandung sebagai pendidikan tinggi pertama di Indonesia. Semenjak itu lengkaplah system pendidikan di Indonesia, dimana setiap anak dapat menempuh pendidikan rendah hingga pendidikan tinggi melalui suatu rangkaian sekolah.
Techniche Hogeschool (sekarang ITB) pertama kali menamatkan pada tahun akademik 1923-1924 yakni 9 orang Belanda dan 3 orang Cina. Orang Indonesia pertama kali lulus pada tahun akademik 1925-1926 dengan jumlah 4 orang dan satu diantarnya adalah Ir. Soekarno yang kemudian menjadi Presiden Indonesi sejak dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Selanjutnya, sejak zaman kemerdekaan pendidikan di Indonesia di dasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tetang Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan dalam Bab 1 pasal 1 ayat 1, bahwa Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”. Sedangkan ayat 2 menyatakan, bahwa “Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
Sejak zaman kemerdekaan pendidikan di Indonesia terus mengalami perkembangan yang pesat, sehingga pada zaman kepemimpinan Ir. Soekarno, pendidikan di Indonesia dikatakan sebagai system pendidikan yang cukup berhasil dalam membangun karakter dan kompetensi anak-anak bangsa. Melihat perkembangan system pendidikan Indonesia yang cukup bagus, tidak jarang bangsa asing yang mengirim pelajarnya untuk menuntut ilmu di Indonesia dn tidak jarang juga bangsa-bangsa lain yang meniru dan mengadopsi system pendidikan yang dikembangkan pada zaman itu.
Tahap berikutnya, pada zaman Orede Baru masalah pendidikan adalah permasalahan yang cukup diperhatikan oleh pemerintah pada saat itu sehingga pada awal-awal masa Orde Baru pendidikan di Indoensia juga mengalami kemajuan yang cukup pesat. Hanya saja keadaan politik yang morat-marit dan keadaan perekonomian bangsa Indonesia yang semakin merosot menyebabkan sitem pendidikan juga harus berubah mengikuti aspek-aspek tersebut. Akhirnya hingga saat ini system pendidikan di Negara yang kita cintai ini kerapkali mengalami tumpang tindih yang pada ahirnya rusaklah moral anak bangsa ini.
Perubahan kurikulum yang terus dipacu dengan tujuan untuk membangkitkan kegemilangan pendidikan Indonesia juga menjadi permasalahan yang pelik dan masih tetap menjadi pembicaraan dan perdebatan hangat hingga saat ini. Sejaka tahun 1994 hingga sekarang, setidaknya kurikulum pendidikan kita sudah mengalamai 5 kali perubahan, mulai dari kurikulum 2004 yang disempurnakan menjadi kurikulum 2006 yang kemudian dikenal dengan istilah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan tujuan utama untuk mencetak lulusan yang berkompetensi dalam berbagai bidang. Hanya saja kurikulum 2004 dan 2006 lebih mengutamakan kuantitas dari pada kualitas, sehingga ujung-ujungnya adalah manipulasi data yang kemudian menyebabkan hancurnya karakter anak bangsa.
Belum selesai kurikulum 2006 diperdebatkan muncul kurikulum 2008 dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dengan persiapan yang begitu matang dan landasan hukum yang begitu lama disusun oleh para pembuat kebijakan, maka diterapkanlah kurikulum KTSP itu dengan berbagai program pembenahan dan penyempurnaan. Kebingungan terus dirasakan oleh guru yang menjadi ujung tombak atau pelaksana kurikulum, mereka belum paham apa itu kurikulum 2004 dan 2006. Tetapi, mereka harus dihadapkan lagi dengan kurikulm 2008 yang aplikasinya dan materi ajarnya cukup berbeda dengan kurikulum 2004 dan 2006. Dan ketika mereka sedang dalam kebingungan yang begitu memusingkan, kurikulum 2011 yang bermuatan karakter dikeluarkan kembali oleh para pembuat kebijakan, ahirnya system pendidikan Indonesia semakin amburadul akibat terlalu banyaknya perdebatan di layar kaca dan media massa. Kurikulum berkarakter belum dapat memaparkan dan bahkan belum bisa merubah karakter anak bangsa yang sedang krisis akan nilai-nilai pancasila dan moral bangsa Indonesia, dikeluarkan lagi kurikulum 2013 yang semakin membingungkan guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Di sisi lain, moralitas anak bangsa Indonesia sudah hancur lebur sehingga yang menjadi sorotan adalah sekolah dan para penyelenggara pendidikan mulai dari Menteri Pendidikan hingga Guru. Masyarakat Indonesia menilai bahwa lembaga pendidikan telah gagal untuk mendidik anak-anak bangsa ini. Sungguh memperihatinkan sekali.
Memang saat itu, sudah terlalu banyak program pendidikan yang sangat bagus untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, hanya saja kita belum berani untuk berlaku jujur dan bijksana di dalam menghadapi aturan yang ada. Contohnya dalam penyelenggaraan Ujian Ahir Sekolah/Ujian Nasional, hanya demi gengsi dan aksi, banyak diantara kita yang membuat system baru untuk memberikan nilai yang baik bagi siswa-siswi kita padahal kenyataannya otak anak-anak kita belum cukup untuk mendapatkan nilai atau hasil itu. Namun apa boleh buat, itulah system yang harus berlaku dalam dunia pendidikan kita yang penuh dengan manipulasi.
Hal ini terbukti dengan banyaknya pengangguran yang ada di sekitar kita. Pengangguran-pengguran itu begitu banyak yang menyandang gelar Sarjana Strata Satu (S1). Lalu apa yang menyebabkan mereka harus menjadi pengangguran setelah orang tua mereka susah payah menyekolahkannya hingga mencapai gelar Sarjana jika bukan dengan tujuan supaya anak-anak mereka menjadi orang yang bisa dan mampu bekerja dan menciptakan lapangan kerja. Tetapi, kenyataannya sangatlah berbeda, ternyata setelah mereka selesai diwisuda, mereka harus bingung mencari kerja ke mana sebab saingan mereka terlalu banyak.
Bayangkan setiap tahunnya, Indonesia mencetak jutaan Sarjana tetapi lapangan kerja semakin menyempit. Tetapi jika kualitas pendidikan yang mereka dapatkan baik dan otak mereka benar-benar bagus, serta nilai ahir yang mereka dapatkan benar-benar kemampuan mereka sendiri maka kami yakin mereka akan dapat menciptakan lapangan sendiri dan bersaing dengan yang lainnya. Hanya saja, sebagian besar diantara mereka tamat dari sekolahnya sebab adanya manipulasi nilai dan trik-trik lain yang dilakukan supaya mereka mendapatkan nilai yang sesuai dengan standar kelulusan yang ditetapkan kurikulum. Sekian Pembahasan dari kami Les Privat Sidoarjo semoga pendidikan indonesia semakin tertata rapi dan mampu memperbaiki moral anak bangsa
_ASRI ASA_